Kamis, 01 Oktober 2009

Jogjaku Indah (awal mula)





Terbentuknya Yogyakarta bermula dari perselisihan internal yang terdapat di Kerajaan Mataram antara Raja Mataram Paku Buwono II (1719-1749) dan Kanjeng Pangeran Aryo Mangkubumi. Perselihan berkepanjangan dimulai karena adanya pembatalan secara sepihak dari Paku Buwono II terhadap pemberian tanah di Sukowati. Pertikaian pun terus berlanjut hingga Paku Buwono III. Di sini lah kemudian Belanda memanfaatkan konflik internal Kerajaan Mataram dengan menjadi penengah sekaligus menawarkan solusi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Melalu solusi ini, Belanda bermaksud untuk mengkerdilkan kekuatan Mataram dengan membagi atau menciutkan wilayah kekuasaan Raja Mataram. Di sini lah Belanda kemudian menawarkan solusi dengan membuat Perjanjian Gianti pada tangga 13 Pebruari 1755.Versi lain menuliskan apabila perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Aryo Mangkubumi bukan ditujukan kepada Paku Buwono II/III, akan tetapi ditujukan kepada pihak kumpeni (Belanda). Perlawanan oleh Pangeran Aryo Mangkubumi dikarenakan pihak Belanda bermaksud menjalankan taktik untuk memecah-mecah kekuasaan Mataram dan sekaligus mengatur kekuasaan Paku Buwono II dengan menjauhkannya dari lingkungan keluarga kerajaan. Salah satunya dengan memindahkan ibukota Mataram yang semula terletak di Kartusura ke Surakarta yang dilakukan tanpa pertimbangan atau pendapat dari Pangeran Mangk

ubumi. Dengan memberikan wilayah yang relatif sama dengan kekuasaan Kerajaan Surakarta ketika itu, tentunya menjadi pertimbangan bagi Pangeran Mangkubumi untuk menyusun kekuatan melawan Belanda.Perjanjian Gianti yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1755 di Gianti (Salatiga) di bawah pemrakarsa Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan Mataram (Surakarta) dibagi menjadi dua bagian, yaitu setengah di bagian Barat milik Kerajaan Surakarta dan setengahnya di bagian Timur milik Pangeran Aryo Mangkubumi. Adapun wilayah yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi ini sesungguhnya masih diliputi oleh wilayah pedalaman. Dalam perjanjian ini pula, Pangeran Aryo Mangkubumi dinobatkan menjadi Raja atas setengah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.Wilayah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya dikenal juga dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono I memperoleh wilayah antara lain Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan. Setelah selesai penandatanganan Perjanjian Gianti, ditetapkan daerah Mataram yang ada dalam kekuasaannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang beribukota di Ngayogyakarta (Kota Yogyakarta). Nama Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan pada tanggal 13 Maret 1755. Ibukota yang dipilih ini terletak di Hutan Beringin di sebuah desa kecil Pachetokan. Di desa Pachetokan terdapat pesanggrahan yang pernah dibangun Susuhunan Paku Buwono II yang disebut Garjitowati. Nama pesanggrahan ini kemudian diganti dengan nama Ayodya yang kemudian menjadi lokasi dibangunnya Keraton Ngayongyakarta. Gambar di bawah ini adalah wilayah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi berdasarkan Perjanjian Gianti (1755).Selama masa pembangunan keraton, Sultan Hamengku Buwono I menempati tempat pemerintahan sementara di di Pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping. Secara resmi, digunakannya pesanggrahan sebagai pusat pemerintahan sementara dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1755. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat baru selesai pembuatannya setahun kemudian. Penempatan pusat kekuasaan secara resmi di keraton tersebut terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756.Pada tahun 1813 didirikan pemerintahan baru yang disebut Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendoro Pangeran Notokusumo yang merupakan putera dari Sultan HB I. Semasa pemerintahan Sultan HB III, Pangeran Notokusumo kemudian diangkat menjadi Pangeran Merdeka dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Pakualaman I. Dengan berdirinya Kadipaten Pakualaman, wilayah kekuasaan Ngayogyakarta Hadiningrat mengalami sedikit perubahan seperti yang terlihat pada peta di atas. Peta wilayah kekuasaan Mataram di atas merupakan hasil akhir dari keseluruhan upaya Belanda untuk memecah kekuatan perlawanan Mataram.Sejarah Setelah Kemerdekaan 1945 Sekalipun berdiri sebagai salah satu wilayah kerajaan di Pulau Jawa, Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menutup pintu untuk setiap upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tidak sedikit peristiwa-peristiwa pergerakan nasional yang tumbuh dan dimulai di Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Misalnya Kongres Perempuan I (1928), Taman Siswa (1922), Kongres I Budi Utomo (1908), berdirinya organisasi Muhammadiyah. Kontribusi kerajaan ini cukup besar terhadap perjuangan nasional dalam rangka upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.Paska Proklamasi 17 Agustus 1945, beberapa minggu sesudahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan desakan untuk segera membuat resolusi kerajaan. Dengan mempertimbangkan kondisi Republik Indonesia yang ketika itu sangat membutuhkan dukungan nasional, Sri Sulta Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang disebut Amanat 5 Septeber 1945. Pada prinsipnya, isi dekrit kerajaan adalah melakukan integrasi monarki Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam NKRI. Dekrit Amanat 5 September 1945 ini kemudian diikuti pula oleh dekrit yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada tanggal yang bersamaan. Dekrit integrasi ke dalam NKRI sesungguhnya juga dikeluarkan pula oleh berbagai kerajaan/monarki di seluruh wilayah Nusantara. Secara politik, Amanat 5 September 1945 memberikan dampak yang luar biasa dan mempengaruhi kerajaan-kerajaan nusantara lain untuk segera bergabung dengan NKRI.